SURABAYA||TRANSISI NEWS – Kanwil Kemenkumham Jawa Timur menyoroti sejumlah kendala dalam implementasi Permenkumham Nomor 23 Tahun 2022 tentang Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM. Melalui Forum Diskusi Strategi Kebijakan, instansi yang dipimpin Heni Yuwono itu mengajak ribuan peserta untuk mendiskusikan persoalan tersebut.
“Berdasarkan analisis terbaru, ditemukan berbagai hambatan, termasuk keterbatasan jumlah sumber daya manusia (SDM), kurangnya anggaran, serta minimnya sarana prasarana pendukung,” urai Heni yang melaporkan kegiatan.
Heni menjelaskan bahwa Kemenkumham telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 23 Tahun 2022 yang mengatur tentang penanganan dugaan pelanggaran HAM. Aturan ini dirancang untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia di Indonesia dan menjadi pedoman dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan oleh masyarakat.
Menurut peraturan ini, lanjut Heni, proses penyelesaian dugaan pelanggaran HAM melibatkan pengaduan yang diajukan oleh individu atau kelompok masyarakat terhadap seseorang, kelompok, aparat negara, korporasi, atau lembaga pemerintah yang diduga melanggar HAM.
“Setiap kasus akan ditangani secara profesional dan transparan, dengan menjaga kerahasiaan identitas para pelapor dan saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 92,” terangnya.
Selain itu, Heni mengatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan tersebut. Termasuk pembentukan pos pengaduan HAM di beberapa lokasi.
“Selain itu, kami berharap agar Ditjen HAM dapat melakukan pengembangan aplikasi SIMASHAM yang lebih aksesibel,” harap Heni.
Menurut Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kanwil Kemenkumham Jawa Timur, Dulyono, kekurangan jumlah SDM berkualitas dan kurangnya pemahaman terhadap regulasi baru menjadi penghambat utama.
“Saat ini, hanya tersedia dua staf dan satu Penyuluh Hukum untuk menangani seluruh pengaduan HAM di wilayah ini,” terangnya.
Lebih lanjut, Dulyono menjelaskan bahwa anggaran untuk kegiatan penanganan dugaan pelanggaran HAM sangat terbatas, hanya mencakup sekitar 17 persen dari total DIPA Direktorat Jenderal HAM. Selain itu, fasilitas seperti komputer dan printer masih kurang memadai, dan aplikasi SIMASHAM yang digunakan untuk pengaduan juga dianggap tidak praktis.