BOJONEGORO||TRANSISINEWS-Bayangkan, untuk mengelola satu hektar sawah, petani harus merogoh kocek hingga Rp4.000.000 hanya untuk membeli pestisida.
Itu belum termasuk ongkos tenaga kerja, sewa lahan, pupuk, dan biaya operasional lainnya. Pestisida ini meliputi herbisida untuk gulma, insektisida untuk hama seperti wereng dan walang sangit, sundep, fungisida untuk jamur, bakterisida untuk penyakit, moluskisida untuk keong, dan rodentisida untuk tikus sawah.
Mari kita hitung. Di satu desa, rata-rata ada 300 hektar sawah. Maka total belanja pestisida dalam sekali musim tanam adalah:
300 hektar x Rp4.000.000 = Rp1,2 miliar
Jika setahun ditanam 3 kali, maka satu desa bisa menghabiskan hingga Rp3,6 miliar hanya untuk pestisida. Dan jika satu kecamatan punya 10 desa seperti itu? Rp36 miliar. Lalu satu kabupaten? Satu provinsi? Bahkan skala nasional?
Triliunan rupiah hanya untuk belanja pestisida.
Apakah ini masuk akal? Atau justru sebuah kegilaan sistemik?
Sudah saatnya kita berpikir jangka panjang. Kita telah menjadi bangsa yang terlalu lama dimabukkan oleh hasil instan pertanian kimiawi.
Selama lebih dari 40 tahun kimiaisasi pertanian, unsur hara tanah kita terkuras habis. Tanah menjadi zonk, kosong dari asam amino organik esensial yang dulu sangat melimpah di era pertanian alami.