Lanjut Warinussy, YK saat “dibawa” beberapa hari lalu juga tidak sedang melakukan perlawanan atau aksi ditempat umum dan juga tidak diwaktu normal kerja misalnya siang hari. Namun dia hanya memakai baju tersebut di malam hari dan di dalam lobby Swiss-Belhotel Manokwari. Apa yang dialami YK pasti juga sama dengan apa yang dialami saudara-saudaranya yang melakukan aksi unjuk rasa di salah satu sudut kota Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Jum’at, 1 Desember lalu. Pemahaman terhadap esensi dasar peristiwa 1 Desember 1961 (62 tahun silam) menurut pandangan hukum saya semestinya didaratkan secara baik kepada semua pihak, jelas Warinussy
termasuk aparat penegak hukum. Agar pertimbangan sosiologi hukum juga menjadi dasar pertimbangan empirik sebelum mengedepankan pendekatan penegakan hukum yang cenderung tidak menyelesaikan persoalan perbedaan pemahaman tentang integrasi Papua itu sendiri di masa depan. Sehingga tidak terdapat sindiran bahwa langkah penegakan hukum di saat momen “menarik” 1 Desember sesungguhnya sedang mempertontonkan cara untuk menghabiskan dana pengamanan semata yang sejatinya tidak bersifat solutif. Ujar Warinussy
Tapi justru semakin memperlebar jurang perbedaan cara pandang Orang Asli Papua (OAP) tentang eksistensi diri mereka sebagai warga kelas dua, kelas tiga dan seterusnya. Serta selalu menjadi pihak yang senantiasa mengalami perlakuan tidak adil dari negara yang dipersonifikasikan dengan kehadiran aparat keamanan yang justru tidak melahirkan suasana akan dan nyaman berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari masa ke masa.
Dan Sebagai Advokat dan Pembela HAM, saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh YK sesaat sebelum dia ditemui hingga dibawa ke kantor Polresta Manokwari, adalah bagian dari hak dia selaku warga bangsa Orang asli Papua yang sedang berekspresi sebagai dijamin di dalam Pasal 28 Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Tutup Warinussy